HUKUM TRSAPALNTASI

Minggu, 22 Desember 2013

Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal 
"ananda muammar.com"
Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat. Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, Abdul Qodim zallum (dalam kitabnya Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh) berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar meninggalnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun isterinya.
Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiatkan penyumbangan organ tubuhnya. Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemilikannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy-Syari’ (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan sebagian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya.
Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak mencakup pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya setelah kematiannya. Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah mewaris kan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka tidak memiliki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut.
Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda terse but. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka.
Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya. Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup.
Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat.
Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap mayat. Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup.
Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup dari segi dosanya saja.
Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini.
Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh).”
Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penganiayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara’.
Keadaan Darurat
Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah membolehkan seseorang yang terpaksa yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain.
Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ? Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya. Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT telah membolehkan orang yang terpaksa yang telah kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain hingga dia dapat mempertahankan hidupnya.
Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam kea daaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atas nya.” (QS. Al Baqarah : 173)
Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman :
Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29).
Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum darurat tersebut diterapkan dengan jalan Qiyas pada fakta transplantasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya? Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat penerapan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa ‘illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasaran Qiyas yaitu transplantasi organ harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber Qiyas yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan baik pada ‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya.
Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerapkan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan perantaraan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika ‘illat masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok dalam sifat keumumannya atau kekhususannya maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah cabang. Ini berarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masa lah cabang.
Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya.
Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok yaitu menyelamatkan kehidupan tidak terwujud pada masalah cabang (transplantasi). Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi.
Atas dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan mata, satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan :
Pertama, ‘Illat yang terdapat pada masalah cabang (transplantasi) yaitu menyelamatkan dan mempertahankan kehidupan tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan orang penerima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.
Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (ta’arudl raa jih), yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang yakni transplantasi organ telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan mencincangnya.
Nash yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi. Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak dibolehkan mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan seperti jantung, hati,dua ginjal, dua paru-paru dari orang yang sudah mati yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam)baik dia seorang muslim, ataupun bukan kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ yang akan ditransplantasikan kepadanya.
Dari keterangan dan penjelasan di atas, jelaslah mengenai masalah hokum transpaltasi organ menurut Islam. Adapun hokum dalam hal menjual belikan bagian anggota badan adalah haram dan tidak sah menurut keterangan dalam kitab Madzaahibul Arba’ah, jilid II, halaman 34. “Waminhaa Sya’rul insaani Liannahu Laa Yajuuzul intifaa’u bihi”.

Ok Teurimong Geunaseh
Thank You

GenBI 'generasi baru indonesia" UIN Ar Raniry

Kamis, 31 Oktober 2013


                                   Oleh          : Boyhaqqi Muchdijah
                               sumber    : www.GenBI.com 
Bermula dari obrolan singkat sambil menunggu saat berbuka puasa bareng (bubar) selesai acara penandatanganan perjanjian kerjas ama pemberian Beasiswa antara Bank Indonesia dengan Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Negeri Jakarta pada 3 Agustus 2011, muncul ide atau gagasan untuk membentuk wahana berhimpun (komunitas) untuk menjalin komunikasi dan interaksi, saling menginspirasi, memotivasi serta menjalin sinergi antar sesama mahasiswa penerima Beasiswa Bank Indonesia.
Pada saat itu muncul beberapa kesepakatan, diantaranya adalah; nama dan lambang untuk Komunitas Penerima Beasiswa Bank Indonesia adalah Generasi Baru Indonesia (GenBI), membentuk tim perumus dan kelompok kerja yang bertugas untuk merencanakan pertemuan umum dan deklarasi yang akan dilaksanakan pada 11 November 2011 (11-11-11) serta menyusun rancangan Konstitusi Organisasi (Statuta, AD dan ART).
 Berbagai cara dilakukan oleh kelompok kerja untuk menjalin komunikasi dan bersosialisasi ke seantero negeri, diantaranya dengan memanfaatkan jaringan media sosial (social media network) facebook dengan membuat FanPage Generasi Baru Indonesia (GenBI) yang di launching tepat pada tanggal 17 Agustus 2011.
           Semangat pembentukan Komunitas Mahasiswa Penerima Beasiswa Bank Indonesia bergulir ke berbagai daerah melalui kegiatan pertemuan umum yang juga di isi dengan Learning Forum dalam bentuk Dialog & Diskusi Terbuka yang membahas kondisi terkini di bidang makro dan mikro ekonomi serta sosial-politik dengan narasumber yang kompeten di bidangnya.
Komunitas Mahasiswa Penerima Beasiswa Bank Indonesia (Generasi Baru Indonesia) akan dibentuk di seluruh Perguruan Tinggi dimana ada Mahasiswa Penerima Beasiswa Bank Indonesia sebagai wahana serta sarana pengembangan kepemimpinan mahasiswa berbasis kampus yang diperuntukan dan dikelola oleh para Mahasiswa Penerima Beasiswa Bank Indonesia dalam rangka akselerasi dan optimalisasi potensi bibit – bibit unggul muda Indonesia yang memiliki beragam latar belakang bidang keahlian dan peminatan dengan harapan dapat melahirkan para pemimpin bangsa (future leader) yang memiliki kemampuan serta wawasan yang lebih luas dan komprehensif untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan dunia dimasa depan.

Generasi Baru Indonesia juga bertujuan untuk meningkatkan kepekaan sosial serta menumbuhkan semangat dan jiwa pengabdian terhadap masyarakat sehingga para Mahasiswa Penerima Beasiswa Bank Indonesia dapat menjadi pemimpin yang menjulang keatas dan mampu mengakar ke bawah hingga terbangunnya mental pembelajaran yang bertitik pada proses perbaikan diri yang berkelanjutan.

hukum sewa rahim

Rabu, 25 September 2013


HUKUM SEWA RAHIM

Penyewaan rahim baik dengan suka rela atau dengan imbalan berupa materi dan dengan tujuan apapun di hukumi haram dalam islam. Pendapat tersebut mengacu kepada salah satu kitab turots karya Imam Al Barmawy yang berjudul Hasyiyah Al Barmawy ‘Ala Syarhi Ghoyati Libni Qosim Al Ghuzzy (selesai th. 1074 H.) danpendapat Imam Romly (W. 1004 H.).
Untuk masalah penyewaan rahim, ulama bersepakat bahwa masalah ini merupakan masalah yang terlarang dalam islam dengan menimbang beberapa alasan. Yaitu:
1). Tidak adanya tali pernikahan diantara pemilik sperma dan pemilik rahim.
Dalam syariat islam, syarat mutlak atas status legal/sah dari kelahiran seorang anak ke alam semesta adalah dengan melalui jalur resmi, yaitu pernikahan. Jika ada seorangperempuan hamil diluar tali pernikahan, maka kehamilannya dihukumi kehamilan yang tidak sah, begitu juga anak yang nanti akan lahir. Dengan adanya penyewaan rahim, maka dihawatirkan akan timbul fitnah kepada perempuan yang dijadikan tempat penanaman janin. Padahal islam sangat mengecam adanya perbuatan fitnah dan pencemaran nama baik. Disamping itu juga dihawatirkan akan terjadi ketidak jelasan nasab dari anak yang dilahirkan. Dan lagi-lagi islam sangat-sangat menjaga kesucian nasab.
2). Adanya hubungan syar’I (nikah) diantara hak punya anak dari rahim tertentu dengan diperbolehkannya berhubungan badan dengan pemilik rahim tersebut.
Mungkin anda bingung memahami kalimat tersebut diatas. Begini gambarannya jika seseorang mempunyai hak berhubungan badan dengan seorang perempuan maka ia berhak menabur benihnya ke dalam rahim perempuan tersebut, dan jika ia tidak berhak berhubungan badan dengannya maka ia juga terlarang memanfaatkan rahimnya untuk menabur benih. Lah.. dalam kasus yang kita bicarakan ini masuk dalam kategori terlarang memanfaatkan rahimnya, karena perempuan tadi tidak boleh di jamah dikarenakan tidak ada ikatan resmi (nikah).
Kalau si laki-laki punya dua istri bagaimana? Misalkan istri yang pertama tidak bisa hamil dan meminta istri yang kedua untuk mengandung benihnya. Dalam contoh ini kan terdapat hubungan syar’I diantara laki-laki yang punya sperma dan wanita yang diminta untuk menjadi tempat penanaman benih. Yaitu selaras dengan kaidah diatas (Jika seseorang mempunyai hak untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan, maka ia juga berhak menabur benih dalam rahim perempuan tersebut). Apakah dalam contoh ini penyewaan rahim dapat dibenarkan?
Untuk masalah seperti ini, ulama berpendapat bahwa hukum dari penanaman benih kedalam rahim istri kedua (penyewaan rahim) tetap dihukumi tidak boleh dengan alasan mungkin disuatu saat nanti akan menimbulkan masalah diantara keduanya. Misal saja pertengkaran dan lain sebagainya. Padahal Al Qur’an jelas-jelas melarang pertengkaran. Wala tanaza’u fatafsyalu. Artinya janganlah kalian semua bertengkar, hal itu akan menjadikan kerugian besar (Al Anfal:46).

Jika memang sudah terjadi kesepakatan diantara kedua istri laki-laki tersebut, hukumnya bagaimana. Tetap saja dihukumi haram. Karena walaupun bagaimana pasti nanti akan muncul rasa kehilangan dari perempuan yang mengandung dan melahirkan.Dan juga kita dihadapkan pada hukum pemisahan anak dengan ibunya yang nyata-nyata telah di hukumi haram juga. Untuk menggambarkan rasa kehilangan dari perempuan yang pada awal mulanya merasa ikhlas melepas anak yang kan dilahirkannya, mungkin anda bisa nonton film india yang diperankan oleh Salman Khan, Karisma Kapoor dan Pretty Zinta dengan cerita yang hampir mirip dengan deskripsi masalah diatas.
3). Rahim tidak termasuk dalam barang yang bisa diserah terimakan dengan imbalan materi misalkan dengan disewa atau diperjual belikan atau dengan tanpa imbalan misalkan dipinjamkan atau diserahkan dengan sukarela.
4). Syara’ mengharamkan setiap perbuatan yang dapat menimbulkan terjadinya persengketaan.
5). Adanya larangan agama atas hal yang dapat menimbulkan ketidak jelasan nasab.
6). Terkadang dapat terjadi penyia-nyiaan terhadap anak yang dihasilkan dari penyewaan rahim, misalkan saja kalau terjadi cacat pada anak tersebut atau hal-hal yang tidak dapat diterima oleh pihak penyewa, dan pihak yang disewa juga tidak mau merawatnya karena tidak termasuk dalam perjanjian.
sebagian orang akan melakukan suatu hal  meski pun itu diharamkan, namun kita juga harus melihat penyebab terjadinya hal itu.
Adapuh hal yg menjadikan Sebab sebab sewa rahim
1.      Tidak bisa mengandung
2.      Tdak memiliki rahim
3.      Tdak mau hamil
4.      Tujuan  komersial

Pamar yg memblehkann sewa rahim
Dalil/alsan/hujjah
1.      Dikiaskan kepada “razaa”(susuan)dibolehan dlam al-quran At-talaq 6 dan Al- bakarah aya233
Paham yg tdak boleh sewa rahim
1.      Q.S arra’du 38
2.      Q.S An-nahl 72

 HUKUM SEWA RAHIM
Penyewaan rahim baik dengan suka rela atau dengan imbalan berupa materi dan dengan tujuan apapun di hukumi haram dalam islam. Pendapat tersebut mengacu kepada salah satu kitab turots karya Imam Al Barmawy yang berjudul Hasyiyah Al Barmawy ‘Ala Syarhi Ghoyati Libni Qosim Al Ghuzzy (selesai th. 1074 H.) danpendapat Imam Romly (W. 1004 H.).
Untuk masalah penyewaan rahim, ulama bersepakat bahwa masalah ini merupakan masalah yang terlarang dalam islam dengan menimbang beberapa alasan. Yaitu:
1). Tidak adanya tali pernikahan diantara pemilik sperma dan pemilik rahim.
Dalam syariat islam, syarat mutlak atas status legal/sah dari kelahiran seorang anak ke alam semesta adalah dengan melalui jalur resmi, yaitu pernikahan. Jika ada seorangperempuan hamil diluar tali pernikahan, maka kehamilannya dihukumi kehamilan yang tidak sah, begitu juga anak yang nanti akan lahir. Dengan adanya penyewaan rahim, maka dihawatirkan akan timbul fitnah kepada perempuan yang dijadikan tempat penanaman janin. Padahal islam sangat mengecam adanya perbuatan fitnah dan pencemaran nama baik. Disamping itu juga dihawatirkan akan terjadi ketidak jelasan nasab dari anak yang dilahirkan. Dan lagi-lagi islam sangat-sangat menjaga kesucian nasab.
2). Adanya hubungan syar’I (nikah) diantara hak punya anak dari rahim tertentu dengan diperbolehkannya berhubungan badan dengan pemilik rahim tersebut.
Mungkin anda bingung memahami kalimat tersebut diatas. Begini gambarannya jika seseorang mempunyai hak berhubungan badan dengan seorang perempuan maka ia berhak menabur benihnya ke dalam rahim perempuan tersebut, dan jika ia tidak berhak berhubungan badan dengannya maka ia juga terlarang memanfaatkan rahimnya untuk menabur benih. Lah.. dalam kasus yang kita bicarakan ini masuk dalam kategori terlarang memanfaatkan rahimnya, karena perempuan tadi tidak boleh di jamah dikarenakan tidak ada ikatan resmi (nikah).
Kalau si laki-laki punya dua istri bagaimana? Misalkan istri yang pertama tidak bisa hamil dan meminta istri yang kedua untuk mengandung benihnya. Dalam contoh ini kan terdapat hubungan syar’I diantara laki-laki yang punya sperma dan wanita yang diminta untuk menjadi tempat penanaman benih. Yaitu selaras dengan kaidah diatas (Jika seseorang mempunyai hak untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan, maka ia juga berhak menabur benih dalam rahim perempuan tersebut). Apakah dalam contoh ini penyewaan rahim dapat dibenarkan?
Untuk masalah seperti ini, ulama berpendapat bahwa hukum dari penanaman benih kedalam rahim istri kedua (penyewaan rahim) tetap dihukumi tidak boleh dengan alasan mungkin disuatu saat nanti akan menimbulkan masalah diantara keduanya. Misal saja pertengkaran dan lain sebagainya. Padahal Al Qur’an jelas-jelas melarang pertengkaran. Wala tanaza’u fatafsyalu. Artinya janganlah kalian semua bertengkar, hal itu akan menjadikan kerugian besar (Al Anfal:46).

Jika memang sudah terjadi kesepakatan diantara kedua istri laki-laki tersebut, hukumnya bagaimana. Tetap saja dihukumi haram. Karena walaupun bagaimana pasti nanti akan muncul rasa kehilangan dari perempuan yang mengandung dan melahirkan.Dan juga kita dihadapkan pada hukum pemisahan anak dengan ibunya yang nyata-nyata telah di hukumi haram juga. Untuk menggambarkan rasa kehilangan dari perempuan yang pada awal mulanya merasa ikhlas melepas anak yang kan dilahirkannya, mungkin anda bisa nonton film india yang diperankan oleh Salman Khan, Karisma Kapoor dan Pretty Zinta dengan cerita yang hampir mirip dengan deskripsi masalah diatas.
3). Rahim tidak termasuk dalam barang yang bisa diserah terimakan dengan imbalan materi misalkan dengan disewa atau diperjual belikan atau dengan tanpa imbalan misalkan dipinjamkan atau diserahkan dengan sukarela.
4). Syara’ mengharamkan setiap perbuatan yang dapat menimbulkan terjadinya persengketaan.
5). Adanya larangan agama atas hal yang dapat menimbulkan ketidak jelasan nasab.
6). Terkadang dapat terjadi penyia-nyiaan terhadap anak yang dihasilkan dari penyewaan rahim, misalkan saja kalau terjadi cacat pada anak tersebut atau hal-hal yang tidak dapat diterima oleh pihak penyewa, dan pihak yang disewa juga tidak mau merawatnya karena tidak termasuk dalam perjanjian.
sebagian orang akan melakukan suatu hal  meski pun itu diharamkan, namun kita juga harus melihat penyebab terjadinya hal itu.
Adapuh hal yg menjadikan Sebab sebab sewa rahim
1.      Tidak bisa mengandung
2.      Tdak memiliki rahim
3.      Tdak mau hamil
4.      Tujuan  komersial

Pamar yg memblehkann sewa rahim
Dalil/alsan/hujjah
1.      Dikiaskan kepada “razaa”(susuan)dibolehan dlam al-quran At-talaq 6 dan Al- bakarah aya233
Paham yg tdak boleh sewa rahim
1.      Q.S arra’du 38
2.      Q.S An-nahl 72


makalah fiqh mawaris

Minggu, 11 Agustus 2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam keluarga yang sakinah ketika terdapat masalah selalu diselesaikan dengan ajaran Islam. Namun ketika masalah warisan, banyak yang tidak menyelesaikan masalah waris tersebut dengan hokum waris Islam. Padahal sudah jelas dalam Al-Quran dan Hadits tentang pembagian harta warisan.
Pembagian harta warisan tidak semuanya terdapat dalm Al-Quran, seperti tentang khunsa dam munasakhah. Masalah ini diterangkan dalam Hadits tetapi tidak semuanya terdapat dalam Hadits. Masih banyak ulam yang berijtihad untuk memutusakan masalah ini. Sehingga harta warisan bisa dibagikan secara adil. Termasuk masalah khunsa dan munasakhah yang harus diselesaikan dengan baik dan adil.

B.     Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah masalah pembagian warisan khunsa dan munasakhah, sebagaimana tersusun dibawah ini:
ü  Definisi Khunsa.
ü  Penghitungan bagian warisan untuk khuntsa.
ü  Definisi Munaskhah.
ü  Bentuk-bentuk Munasakhah.
ü  Cara Penyelesaian Munasakhah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Khunsa
Orang banci atau disebut khuntsa, adalah orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki dan perempuan), atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali.Di dalam Al-Qur’an, dalam ayat-ayat mawaris, tidak disebutkan bahwa khuntsadikecualikan dalam pembagian warisan. Bahkan, kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwakhuntsa, bayi dalam kandungan, orang hilang, tawanan perang, dan orang-orang yang mati bersamaan dalam suatu musibah atau kecelakaan, mendapat tempat khusus dalam pembahasan ilmu faraidh. Ini berarti bahwa orang-orang ini memiliki hak yang sama dengan ahli waris lain dalam keadaan normal dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Seorang khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya. Khuntsa seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa musykil. Untuk dapat mengidentifikasi jenis kelamin seorang khuntsa, dapat ditempuh cara berikut:
ü  Meneliti alat kelamin yang dipergunakan untuk buang air kecil. Hadits Nabi SAW: “Berilah warisan anak khuntsa ini (sebagai laki-laki atau perempuan) mengingat dari alat kelamin yang mula pertama dipergunakannya untuk buang air kecil.” (HR Ibnu Abbas)
ü  Meneliti tanda-tanda kedewasaannya. Seorang laki-laki dapat dikenali jenis kelaminnya melalui tumbuhnya janggut dan kumis, perubahan suara, keluarnya sperma lewat dzakar, kecenderungan mendekati perempuan. Sementara perempuan dapat dikenali jenis kelaminnya melalui perubahan payudara, haid, kecenderungan mendekati laki-laki.
Orang yang normal sudah jelas jenis kelaminnya sehingga statusnya dalam pembagian warisan dapat ditentukan dengan segera. Tetapi berbeda halnya dengan khuntsakarena dalam sebagian besar kasus, jenis kelamin seseorang dapat menentukan bagian warisan yang diterimanya. Dari seluruh orang yang berhak sebagai ahli waris, maka adatujuh macam orang yang ada kemungkinan berstatus sebagai khuntsa. Ketujuh orang itu adalah:
ü  Anak
ü  Cucu
ü  saudara (kandung, sebapak, atau seibu)
ü  anak saudara atau keponakan (kandung atau sebapak)
ü  paman (kandung atau sebapak)
ü  anak paman atau sepupu (kandung atau sebapak)

Selain ketujuh macam orang itu, tidak mungkin berstatus sebagai khuntsa. Sebagai contoh, suami atau isteri tidak mungkin khuntsa karena salah satu syarat timbulnya perkawinan adalah terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sudah jelas jenis kelaminnya. Begitu juga dengan bapak, ibu, kakek, dan nenek; keempat macam orang ini tidak mungkin khuntsa karena mereka sudah jelas memiliki anak dan/atau cucu.

B.     Penghitungan bagian warisan untuk khuntsa

1.      Dalam menghitung bagian warisan untuk khuntsa, ada tiga pendapat yang utama:
Menurut Imam Hanafi:
Khuntsa diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan, sedangkan ahli waris lain diberikan bagian yang terbesar dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
2.      Menurut Imam Syafii:
Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) sampai persoalan khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian untuk saling-menghibahkan (tawahub) di antara para ahli waris.
3.      Menurut Imam Maliki:
Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan (nilai tengah dari dua perkiraan).
 Sementara itu, Imam Hanbali berpendapat seperti Imam Syafii dalam hal khuntsa masih dapat diharapkan menjadi jelas status jenis kelaminnya. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas, pendapat beliau mengikuti pendapat ImamMaliki.
Contoh kasus
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak yang banci.
penyelesaian
Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada 2 orang anak laki-laki. Keduanya dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah bin-nafsi dan mewarisi seluruh harta dengan masing-masingmemperoleh 1/2 bagian.

Jika dianggap perempuan, berarti ahli warisnya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Dalam hal ini, mereka adalah sebagai ‘ashabah bil-ghair dengan ketentuan bagian anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anak perempuan. Jadi anak laki-laki memperoleh 2/3, sedangkan anak perempuan memperoleh 1/3. Dari kedua macam anggapan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
ü  Menurut madzhab Hanafi:
Bagiananak laki-laki = 2/3
Bagian anak banci = 1/3
ü  Menurut madzhab Syafii:
Bagian anak laki-laki = 1/2
Bagian anak banci = 1/3
Sisa = 1/6 (ditahan sampai jelas statusnya)
ü  Menurut madzhab Maliki:
Bagian anak laki-laki = ½ x (1/2 + 2/3) = 7/12
Bagian anak banci = ½ x (1/2 + 1/3) = 5/12
Contoh kasus
Seorang perempuan wafat dengan meninggalkan harta berupa uang Rp 36 juta. Ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara sebapak yang khuntsa.

Penyelesaiannya:
Jika diperkirakan laki-laki:
Suami : 1/2 x Rp 36 juta = Rp 18 juta
Ibu : 1/6 x Rp 36 juta = Rp 6 juta
Dua sdr lk seibu : 1/3 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Khuntsa (Sdr lk sebapak) : Sisa (tetapi sudah tidak ada sisa lagi)
· Jika diperkirakan perempuan (dalam hal ini terjadi ‘aul dari asal masalah 6 menjadi 9):
Suami : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Ibu : 1/9 x Rp 36 juta = Rp 4 juta
Dua sdr lk seibu : 2/9 x Rp 36 juta = Rp 8 juta
Khuntsa (Sdr pr sebapak) : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta

Dari kedua macam perkiraan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi:
a. Suami : Rp 18 juta
b. Ibu : Rp 6 juta
c. Dua sdr lk seibu : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : tidak mendapat apa-apa
Menurut madzhab Syafii:
a. Suami : Rp 12 juta
b. Ibu : Rp 4 juta
c. Dua sdr lk seibu : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : tidak mendapat apa-apa
e. Sisa : Rp 8 juta (ditahan sampai status khuntsa jelas)
Menurut madzhab Maliki:
a. Suami : ½ x (18 + 12) = Rp 15 juta
b. Ibu : ½ x (6 + 4) = Rp 5 juta
c. Dua sdr lk seibu : ½ x (12 + 8) = Rp 10 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : ½ x (0 + 12) = Rp 6 juta

Contoh kasus:
Seseorang (X) meninggal dunia dengan harta warisan sejumlah Rp 300 juta. Ahli warisnya 2 anak laki-laki (A dan B) dan 2 anak perempuan (C dan D). Sebelum warisan dibagi, A menyusul meninggal dunia sehingga ahli warisnya hanya saudara laki-laki dan perempuannya, yaitu B, C, dan D. Berapakah bagian B, C, dan D?

Penyelesaian:
Karena semua ahli waris dari A juga merupakan ahli waris dari X, maka dalam hal ini, Adianggap tidak ada, atau bukan ahli waris dari X sehingga ahli waris dari X hanya B, C, danD.Selanjutnya B, C, dan D mewarisi X sebagai ‘ashabah bil-ghair, sehingga uang Rp 300juta dibagi kepada mereka bertiga dengan perbandingan 2:1:1. Maka bagian masingmasing adalah:

Bagian B = 2/4 x Rp 300 juta = Rp 150 juta
Bagian C = 1/4 x Rp 300 juta = Rp 75 juta
Bagian D = 1/4 x Rp 300 juta = Rp 75 juta
Seandainya A dalam contoh ini memiliki harta peninggalan Rp 100 juta, maka uangnya dikumpulkan dengan uang X sehingga menjadi Rp 400 juta. Kemudian baru dibagi kepada B, C, dan D dengan perbandingan yang sama seperti sebelumnya, yaitu 2:1:1. Maka:
Bagian B = 2/4 x Rp 400 juta = Rp 200 juta
Bagian C = 1/4 x Rp 400 juta = Rp 100 juta
Bagian D = 1/4 x Rp 400 juta = Rp 100 juta







BAB III
KESIMPULAN
khuntsa, adalah orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki dan perempuan), atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali. Seorang khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya. Khuntsa seperti ini disebutkhuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa musykil. Untuk dapat mengidentifikasi jenis kelamin seorang khuntsa, dapat ditempuh cara berikut:
1.                  Meneliti alat kelamin yang dipergunakan untuk buang air kecil
2.                  Meneliti tanda-tanda kedewasaannya.
Dalam menghitung bagian warisan untuk khuntsa, ada tiga pendapat yang utama, yaitu pendapat Imam Syafi’I, Imam Maliki, dan Imam Hanafi. Sementara itu, Imam Hanbali berpendapat seperti Imam Syafii dalam hal khuntsa masih dapat diharapkan menjadi jelas status jenis kelaminnya. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas, pendapat beliau mengikuti pendapat ImamMaliki.
Munasakhah menurut bahasa artinya menyalin dan menghilangkan. Dua arti ini sesuai dengan Al-Quran surat al-Jatsiyah ayat 29 dan surat al-Baqarah ayat 106. Adapun munasakhah menurut istilah, terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain : As-Sayyid Asy-Syarif dan Ibnu Umar al-Baqry.
Pada dasarnya, munasakhah mempunyai dua bentuk, yaitu
1.                  Bentuk pertama:
Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang mati belakangan adalah ahli waris juga bagi orang yang mati lebih dahulu
2.                  Bentuk kedua:
Ahli waris yang akan menerima pemindahan bagian warisan dari orang yang mati belakangan adalah bukan ahli waris bagi orang yang mati lebih dahulu. Yaitu, seandainya tidak terjadi kematian yang kedua, ia tidak dapat mewarisi orang yang mati lebih dahulu.


 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. The PoliTikKus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger