Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal
|
"ananda muammar.com"
|
Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan
hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan
kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini,
terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan
mayat, dan hukum keadaan darurat. Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang
telah meninggal, Abdul Qodim zallum (dalam kitabnya Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh)
berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun.
Sebab dengan sekedar meninggalnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki
atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun
isterinya.
Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia
tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau
mewasiatkan penyumbangan organ tubuhnya. Berdasarkan hal ini, maka seseorang
yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak
dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan mengenai kemubahan
mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar
kepemilikannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy-Syari’ (Allah) telah
mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan sebagian hartanya hingga sepertiga
tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli
warisnya.
Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta benda dan
tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak mencakup pewasiatan tubuhnya.
Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ
tubuhnya setelah kematiannya. Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah
mewaris kan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan
demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si
mayit, karena mereka tidak memiliki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga
tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut.
Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak
penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan
bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda terse but. Dan selama hak
mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan
tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris,
bagaimanapun juga posisi atau status mereka.
Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan
salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan
kepada orang lain yang membutuhkannya. Adapun hukum kehormatan mayat dan
penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempunyai
kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah
telah mengharamkan pelanggaran terhadap kehormatan mayat sebagaimana
pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa
menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup.
Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan
sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat
adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan
sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau
memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka
begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat.
Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau
melukainya, maka demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap
mayat. Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya,
memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya
sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup.
Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang
yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang
menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan
potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan
kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup
dari segi dosanya saja.
Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil jantungnya,
atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan
kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat.
Padahal Islam telah melarang perbuatan ini.
Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia
berkata, “Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan
mencincang (mayat musuh).”
Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan
penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah
perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang
lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap
kehormatan mayat serta merupakan penganiayaan dan pencincangan terhadapnya.
Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara
pasti oleh syara’.
“Keadaan Darurat”
Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah membolehkan seseorang yang
terpaksa yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian untuk
memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah, seperti
bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain.
Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan salah satu
organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang kelangsungan
hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ? Untuk menjawab
pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai langkah
awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang
sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya. Mengenai hukum darurat, maka
Allah SWT telah membolehkan orang yang terpaksa yang telah kehabisan bekal
makanan, dan kehidupannya terancam kematian untuk memakan apa saja yang
didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah seperti bangkai, darah, daging
babi, dan lain-lain hingga dia dapat mempertahankan hidupnya.
Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam kea daaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atas nya.” (QS. Al
Baqarah : 173)
Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang
didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya.
Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah
berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman :
Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29).
Dari penjelasan di
atas, dapatkah hukum darurat tersebut diterapkan dengan jalan Qiyas pada fakta
transplantasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang
membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya? Jawabannya memerlukan
pertimbangan, sebab syarat penerapan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa
‘illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasaran
Qiyas yaitu transplantasi organ harus juga sama-sama terdapat pada masalah
pokok yang menjadi sumber Qiyas yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan
bekal makanan baik pada ‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya.
Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerapkan hukum masalah pokok
pada masalah cabang, dengan perantaraan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika
‘illat masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok dalam sifat
keumumannya atau kekhususannya maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat
pada masalah cabang. Ini berarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan
pada masa lah cabang.
Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang ditransplantasikan
dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat menyelamatkan
kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat pula
organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan,
seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang masih punya
satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya.
Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan
dan ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok
yaitu menyelamatkan kehidupan tidak terwujud pada masalah cabang
(transplantasi). Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada
fakta transplantasi.
Atas dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan
mata, satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu
ginjal yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada
orang lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi
tumpuan harapan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus
diperhatikan :
Pertama, ‘Illat yang terdapat pada masalah cabang (transplantasi) yaitu
menyelamatkan dan mempertahankan kehidupan tidak selalu dapat dipastikan
keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang
yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti
akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati,
dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan
orang penerima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan
kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada
orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada
masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.
Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas,
yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang
bertentangan dengannya (ta’arudl raa jih), yang berlawanan dengan apa yang
dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang yakni
transplantasi organ telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan
apa yang dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat,
atau keharaman menganiaya dan mencincangnya.
Nash yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh
‘illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan
transplantasi. Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak dibolehkan
mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan penyelamatan
kehidupan seperti jantung, hati,dua ginjal, dua paru-paru dari orang yang sudah
mati yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam)baik dia seorang muslim, ataupun
bukan kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ yang akan
ditransplantasikan kepadanya.
Dari keterangan dan penjelasan di atas, jelaslah mengenai masalah hokum
transpaltasi organ menurut Islam. Adapun hokum dalam hal menjual belikan bagian
anggota badan adalah haram dan tidak sah menurut keterangan dalam kitab
Madzaahibul Arba’ah, jilid II, halaman 34. “Waminhaa Sya’rul insaani Liannahu
Laa Yajuuzul intifaa’u bihi”.
Ok Teurimong Geunaseh
Thank You